Historiografi Indonesia Masa Modern: Tinjauan Buku Pemberontakan Petani Banten 1888 Karya Sartono Kartodirdjo

Historiografi Indonesia Masa Modern: Tinjauan Buku Pemberontakan Petani Banten 1888 Karya Sartono Kartodirdjo

Perkembangan penulisan sejarah Indonesia tidak lepas dari latar belakang sejarah bangsa ini sebagai bangsa yang pernah dijajah. Dahulu, sejarah Indonesia banyak ditulis oleh orang Belanda. Penulisan sejarah yang dilakukan Belanda ini tidak memperlihatkan objektivitas dari kaca mata Indonesia sendiri. Oleh karena itu, bangsa Indonesia berupaya melakukan penulisan sejarah Indonesia sendiri, salah satu upaya tersebut pertama kali dilakukan oleh Hoesen Djayadiningrat yang menulis mengenai Banten.

Awal Mula Penulisan Sejarah Indonesia Masa Modern
Ketika Belanda menduduki Indonesia, mereka membuat tulisan-tulisan yang cenderung menonjolkan kepentingan Belanda. Tulisan-tulisan ini memposisikan Belanda sebagai pelaku sejarah atau subjek sejarah. Sedangkan bangsa Indonesia diposisikan sebagai objek sejarah. Model penulisan ini sangat jauh dari keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, timbul pemikiran dan keinginan dari bangsa Indonesia untuk menulis sejarah yang lebih objektif. Penulisan sejarah ini dimulai dengan penyaduran dan membalikkan posisi pelaku sejarah, jika sebelumnya Belanda menjadi subjek sejarah, kini dibalik menjadi bangsa Indonesia sebagai subjek sejarah. 

Penulisan Sejarah Indonesia masa modern bermula ketika Seminar Nasional Sejarah yang diadakan pertama kali oleh Kementrian Pendidikan pada tanggal 14–18 Desember 1957 di Yogyakarta. Seminar ini membahas tentang usaha penulisan sejarah nasional yang bercorak Indonesia sentris dan diharapkan dengan adanya penulisan sejarah nasional dapat menjadi media pemersatu bangsa. Penulisan sejarah nasional ini berisi harus dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri atau penduduk asli pribumi. Ketentuan ini diberlakukan guna memperoleh tingkat objektivitas yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan. 

Penulisan sejarah Indonesia dilakukan secara intens dan serius pada tahun 1970 sesuai dengan Seminar Sejarah Nasional II. Pada tahun ini pemerintah membentuk tim penulis yang dipimpin oleh Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Buku yang dihasilkannya terdiri dari 6 jilid mulai dari masa prasejarah, sejarah kuno, kerajaan-kerajaan Islam, periode 1800-1900, 1900-1942 dan 1942-1965.

Ciri-Ciri Historiografi Indonesia Masa Modern 
Dalam mengintegrasikan metode penelitian baru, penyusunan sejarah Indonesia diharapkan mampu mengungkapkan banyak persoalan dan objek-objek baru serta dimensi-dimensi dari perubahan sosial kehidupan bangsa Indonesia.
  1. Klasifikasi Penulisan
    Pada perkembangan selanjutnya, penulisan sejarah Indonesia banyak dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri, walaupun tidak sedikit karya-karya sejarah ditulis oleh orang yang tidak mempunyai latar belakang sejarah. Dalam hal ini, Taufiq Abdullah dan Abdurrahman Surjomiharjo mengklasifikasikan penulisan sejarah di Indonesia menjadi 3 jenis. Pertama, sejarah ideologis yaitu penulisan yang bertitik tolak pencarian arti subjektif dari peristiwa sejarah. Masa lampau dipelajari bukan demi pengetahuan masa lampau, tetapi demi lambang yang bisa digunakan untuk mengetahui masa kini. Contoh penulisan sejarah dalam jenis pertama ini seperti Mohammad Yamin mengenai Sejarah Kuno Indonesia, Ruslan Abdul Gani mengenai Sejarah Pergerakan Nasional dan Nugroho Notosusanto mengenai Sejarah Militer Indonesia.

    Kedua, yaitu sejarah pewarisan. Ciri utama penulisannya adalah kisah kepahlawanan perjuangan kemerdekaan dan pelajaran yang dapat diambil dari karya-karya perjuangan kemerdekaan. Pelajaran yang dapat diambil dari karya-karya semacam ini adalah betapa para patriot Indonesia berjuang menentang hambatan-hambatan yang menderita kesulitan fisik dan psikis demi mencapai kemerdekaan. Contoh penulisan seperti ini yaitu buku karya Abdul Haris Nasution (Jenderal Purnawirawan) yang berjudul Sekitar Perang Kemerdekaan.

    Ketiga, yaitu  sejarah akademik. Penulisan semacam ini tidak bersifat ideologis dan filosofis, akan tetapi memberikan gambaran yang jelas mengenai masa silam yang didasarkan pada etika akademik. Tulisan semacam ini tidak semata-mata dibuat dalam bentuk kisah, melainkan cenderung bersifat struktural. Menggunakan pendekatan ilmu sosiologi, antropologi, politik, dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Contoh penulisan semacam ini adalah karya Sartono Kartodirdjo tentang Pemberontakan Petani Banten 1888, Soemarsaid Moertono tentang Negara Nation Indonesia, Deliar Noer mengenai Gerakan Modernisme Islam di Indonesia (1973), dan disertasi Alfian mengenai Muhammadiyah di Masa Penjajah. 
Penulisan Sejarah Sartono Kartodirdjo dalam Buku Pemberontakan Petani Banten 1888
Sartono Kartodirdjo lahir di Wonogiri 15 Februari 1921. Beliau adalah Guru Besar Ilmu Sejarah di Universitas Gadjah Mada dan anggota Dewan Riset Nasional. Lulus dari Jurusan Sejarah Universitas Indonesia tahun 1956, ia melanjutkan studi dan memeperoleh gelar MA dari Yale University, Amerika Serikat dibawah bimbingan Prof.Hary J. Benda. Pada tahun 1966 meraih gelar doktor dari University Amsterdam dengan promotor Prof. Wertheim dari Departemen of Sociology and Modern History of Southeast Asia, Universitas Amsterdam, dengan disertasinya yang berjudul The Peasants Revolt of Banten in 1888 berhasil dipertahankan dengan predikat cumlaud. Karya tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Pemberontakan Petani Banten 1888. 

Dalam menganalisis pemberontakan petani Banten tahun 1888, Sartono mengawalinya dengan merumuskan suatu pokok permasalahan dalam penelitianya, yaitu bermula dari lapisan manakah peserta gerakan itu diangkat dan digerakan?, dan bagaimana kedudukan sosial ekonomi mereka pada umumnya?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Sartono mengkaji pemberontakan petani Banten dengan terstruktur. Sartono menggunakan alat bantu dan teori-teori ilmu sosial. Dengan demikian model penulisan sejarah ini memperlihatkan suatu penulisan sejarah ilmiah. Bahkan dapat dikatakan buku karya Sartono ini adalah suatu model penulisan sejarah ilmiah pertama di Indonesia. 

Sartono menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh aliran Analles untuk menganalisis peristiwa pemberontakan petani Banten. Karakteristik aliran ini adalah bahwa sejarawan dalam penulisanya harus mengurangi penekanan kebiasaan naratif, khusunya yang bersifat politik, peristiwa harus bersifat kronologis, dan lebih banyak menekankan pada analisis. Aliran ini mempunyai konsep bahwa pendekatan sejarah dari aspek ekonomi, sosial kultural dan politik harus diintegrasikan ke dalam “Sejarah Total”, sehingga sejarawan membutuhkan bantuan ilmu-ilmu sosial. 

Teori ilmu sosial yang dipakai Sartono dalam menjelaskan pemberotakan petani Banten yaitu sosiologi Neil J. Smelser. Teori Smelser yang dipakai yaitu Theory of Colective Behavior. Dalam hal ini pemberontakan diartikan sebagai perilaku kolektif. Menurut Smelser perilaku kolektif adalah tingkah laku yang bertujuan mengubah lingkungan sosial, yang didasarkan kepada keyakinan tertentu bahwa situasi dapat diubah. Dalam usaha melihat faktor penyebab terjadinya pemberontakan petani Banten, Sartono menggunakan determinan-determinan dari teori kolektifnya Smelser, yaitu (1) Structural conducifness, (2) Structural strain, (3) Generalized believe, (4) Mobilization for action, (5) Precipating factor, (6) lack social control. Sartono  melihat faktor penyebab pemberontakan petani Banten sebagai suatu determinan penyebab yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainya. 

Untuk mencari determinan-determinan penyebab pemberontakan, terlebih dahulu Sartono melihat kondisi sosial ekonomi Banten pada awal abad ke XIX. Walaupun Banten merupakan suatu wilayah yang dikelilingi oleh pantai, akan tetapi faktor agraris  menjadi aset ekonomi yang penting. Sebagaimana lazimnya negara agraris, faktor tanah merupakan faktor yang penting bagi kesejahteraan penduduknya. Pada masa Daendles 1808, pemilikan tanah Sultan dihapuskan, sedangkan pada masa Raffles tanah pusaka dipungut pajaknya dalam bentuk sewa tanah. Mereka yang memiliki tanah pusaka akan mendapat ganti rugi. Kebijakan seperti ini ternyata tidak memberikan kepuasan terhadap anggota kerabat dan pejabat-pejabat Sultan, karena banyak dikorupsi oleh para pamongraja. Kedudukan petani atau rakyat biasa pada masa kesultanan banyak yang mengerahkan tenaganya untuk bekerja pada tanah-tanah pusaka, menjadi pelayan rumah dengan status abdi. 

Semenjak Kesultanan Banten dihapuskan pada tahun 1810, hak-hak dan kewajiban para petani tidak berubah. Bahkan para petani ini banyak dipekerjakan secara paksa oleh para aristokrat. Keadaan seperti ini lah yang menambah penderitaan para petani. Perubahan sosial ekonomi lebih banyak diakibatkan oleh sistem ekonomi Barat yang kemudian diterapkan pada administrasi pemerintahan. Perubahan pola administrasi dari tradisional ke modern ini banyak menimbulkan sumber konflik. Tinjauan terhadap kondisi sosial ekonomi ini merupakan upaya Sartono untuk melihat determinan penyebab dari structural condusifness. 

Model administrasi yang dikembangkan pemerintah kolonial ini mengubah sebagian dari personil Sultan atau anggota-anggota keluarga menjadi birokrat-birokrat. Pada awalnya pemerintahan kolonial merekrut pejabat-pejabat pemerintahan dari keluarga bangsawan, dengan harapan dapat memudahkan hubungan dengan rakyat. Akan tetapi cara seperti ini tidak efektif karena banyak korupsi yang terjadi. Kemudian, pemerintah kolonial mengubah kebijakan dengan cara merekrut mereka yang benar-benar profesional dalam perorangan. Perubahan ini lah yang menjadi konflik antara kaum bangsawan yang lama terhadap pemerintah kolonial. 

Selain itu, semakin meningkatnya pengawasan politik oleh pihak Belanda telah menimbulkan rasa tersingkir dan frustasi di kalangan kaum elite agama dengan golongan kaum bangsawan yang tersingkir. Hal ini diperlihatkan oleh Sartono dengan tampilnya Kiai Haji Tubagus Ismail. Beliau adalah bangsawan Banten yang  bersama-sama pemimpin agama memimpin pemberontakan. Penggambaran Sartono terhadap kondisi konflik yang menimbulkan ketegangan antara elite politik dan elite agama terhadap penjajah, merupakan penjelasan terhadap determinan penyebab stuctural strain.

Masyarakat Banten dikenal fanatik beragama Islam. Pada saat terjadi pemberontakan, pesantren dan gerakan tarekat memiliki peran yang strategis, yaitu sebagai mobilisasi dan penyaluran massa. Analisis Sartono terhadap pesantren dan gerakan tarekat ini merupakan upaya mencari determinan penyebab mobilization for action. Sementara itu, precipitating factor sebagai penyebab determinan pemercepat pemberontakan. Sartono melihat ambruknya tatanan tradisional dan gejala yang menyertainya yaitu keresahan sosial yang terus menerus mendorong peningkatan kegiatan keagamaan. Tahap perkembangan yang telah dicapai dalam tahun delapan puluhan mengisyarakan bahwa gerakan keagamaan itu berusaha membenarkan aspirasi-aspirasi politik. Di sisi lain terdapat rasa tersingkirkan politik dan di lain sisi terdapat reafirmasi tradisi. Masyarakat elite kaum agama, yang telah kehilangan hak-hak mereka di bidang politik, bertindak sebagai golongan protes, yang menentang lembaga-lembaga baru. 

Dalam suatu pemberontakan biasanya terdapat suatu sistem nilai yang turut memberikan semangat spiritual terhadap meledaknya pemberontakan. Dalam kasus pemberontakan petani Banten, Sartono melihat determinan penyebab dengan timbulnya semangat perang Sabil. Ambruknya tatanan sosial kesultanan akibat pengaruh kolonial, mengakibatkan timbulnya cita-cita masyarakat untuk membangun kembali tatanan lama yang telah ambruk dalam bentuk harapan akan kedatangan Imam Mahdi. Perang Jihad sebagai upaya untuk membangun Dar al-Islam dalam manifestasi kesultanan lama. Identifikasi terhadap fenomena datangnya Imam Mahdi atau sering disebut Ratu Adil merupakan analisis dari Sartono dalam mencari determinan generalized believe.

Pengawasan yang ketat terhadap gerak langkah para elite agama oleh pemerintah kolonial tidak membuat sikap para elite keagamaan terhadap masyarakat terhenti. Para pemimpin elite keagamaan sering melakukan pertemuan-pertemuan informal untuk membahas rencana pemberontakan, misalnya melalui pernikahan, sunatan, dan lain-lain. Pertemuan informal elite agama tersebut merupakan indikator dari determinan lack social control, artinya pemerintahan kolonial kurang melakukan kontrol sosial terhadap pertemuan-pertemuan para elite agama tersebut. 

Penulisan Sartono Kartodirdjo 
Pada masa Demokrasi Terpimpin, pemerintah cenderung mencurigai kajian akademis tentang masalah sosial, ekonomi dan kebudayaan karya para ilmuwan dari negara Old Established Forces. Namun, berbeda dengan Orde Baru. Sejak awal kehadirannya, Orde Baru memperlihatkan sikap yang relatif lebih terbuka kepada dunia luar. Di masa ini, hasil studi tentang berbagai aspek dan peristiwa sejarah yang bersifat politik, ekonomi maupun antropologis karya ilmuwan asing semakin banyak memasuki pasaran akademis Indonesia, sehingga dapat menambah ilmu pengetahuan dan memberi inspirasi akademis. Dalam situasi akademis yang semakin terbuka ini lah disiplin-disiplin keilmuan lain, terutama sosiologi, antropologi, ilmu politik dan bahkan ekonomi semakin jauh melakukan “penetrasi akademis” ke dalam alur analisis dan bahkan corak rekonstruksi peristiwa yang dilakukan disiplin ilmu sejarah. 

Sejak kembali ke Tanah Air, Sartono Kartodirdjo telah memperkenalkan pendekatan yang dinamakannya “multidimensional”. Dengan pendekatan ini studi sejarah tidak lagi terpaku hanya pada urutan kejadian saja, tetapi juga pada struktur sosial-kultural yang merupakan wadah dari rangkaian kejadian itu. Di tangannya, tulisan tentang berbagai masalah dan peristiwa sejarah sejauh mungkin diupayakan mendapat kearifan dan kepekaan akademis dari kesadaran humaniora. 

Dalam tulisan Pemberontakan Petani Banten 1888, Sartono memberikan rekonstruksi peristiwa dengan detail dan keterangan peristiwa secara teliti terkait dengan teori yang multidimensional seperti sosiologi dan antropologi. Tulisan ini merupakan tulisan sejarah tentang suatu peristiwa yang kompleks. Dalam usahanya merekonstruksi peristiwa ini, Sartono bukan hanya menggunakan buku-buku dan artikel-artikel tentang Banten dan Pulau Jawa abad ke-19 dan sebelumnya, tetapi juga surat-surat kabar dan majalah sezaman terutama arsip-arsip Belanda. Dengan kata lain, Sartono mengadakan rekonstruksi sejarah berdasarkan sumber-sumber primer yang sahih dan kaya serta sumber-sumber sekunder yang telah lulus uji kelayakannya.

Peristiwa ini terjadi di Anyer, Banten, dengan rentang waktu 9 Juli sampai 30 Juli 1888. Pemberontakan ini merupakan satu dari sekian pemberontakan yang terjadi di banten selama abad ke-19. Pembahasan mengenai pemberontakan petani yang terjadi bersifat lokal dan tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Petani-petani itu tidak mengetahui apa yang mereka perjuangkan namun secara samar mereka ingin menggulingkan pemerintahan, akan tetapi mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang mengambil bagian di dalam suatu gerakan sosial yang revolusioner. Sepanjang sejarah pemberontakan petani, jarang sekali para pemimpinnya berasal dari petani biasa. Mereka biasanya berasal dari kelompok yang lebih terkemuka seperti pemuka agama, kaum ningrat maupun orang yang terhormat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa para petani memberikan banyak kekuatan dalam pergerakan, tetapi pemimpinnya berada pada kaum elit pedesaan di mana pemuka agama biasanya memainkan peran utama hampir di semua pemberontakan. 

Penulisan ini hampir seluruhnya hanya mencakup pergerakan sosial di Banten pada abad ke-19 dengan tujuan untuk menghubungkan fenomena historis pemberontakan petani sebagai pergerakan sosial dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik tertentu di Banten. Tujuan penulisan ini bukan hanya untuk menggambarkan apa yang terjadi dan kapan, tetapi juga bagaimana dan apa sebabnya, sehingga mengacu pada masalah kausalitas. Secara garis besar penulisan Sartono ini sangat menarik, selain isi pembahasan yang detail, penulisan ini dapat dijadikan referensi utama dalam penulisan sejarah gerakan sosial dan petani di Indonesia. 

2 comments for "Historiografi Indonesia Masa Modern: Tinjauan Buku Pemberontakan Petani Banten 1888 Karya Sartono Kartodirdjo"

Add your comment