Politik dalam Islam: Kajian Sistem Politik Masa Khulafa' al-Rasyidun

Periode pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidun dipandang sebagai periode yang sangat penting dalam sejarah Islam. Sebab, periode ini mengawali adanya pemerintahan dengan bentuk kekhalifahan. Sistem yang diterapkan memegang kuat prinsip musyawarah, persamaan, dan kebebasan berpendapat yang merupakan implementasi dari ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Sistem ini juga didukung adanya kualitas dan kapabilitas seorang khalifah yang berpandangan luas, memiliki ilmu agama dan pengetahuan yang tinggi, arif dan bijaksana, serta dipandang sebagai sahabat terbaik Nabi Muhammad. Meskipun demikian, dinamika politik dalam setip tampuk kepemimpinan terjadi berbeda-beda tergantung sistem politik dan kebijakan yang diterapkan. Namun, perbedaan tersebut bukan untuk dipermasalahkan melainkan penting untuk dikaji dan dipahami supaya nilai-nilai positifnya dapat dijadikan teladan dan diaktualisasikan sebagai pegangan, pengendali, dan penangkal dalam menyikapi masalah-masalah bangsa ke depan.

Berikut poin penting yang menjadi cerminan dari penerapan sistem politik masa Khulafa’ al-Rasyidun:
Politik dalam Islam: Kajian Sistem Politik Masa Khulafa' al-Rasyidun
Konsep Khilafah
Dalam hal ini, khilafah dimaknai sebagai sistem politik Islam. Secara bahasa, khilafah berarti mengganti. Sedangkan secara istilah, definisi khilafah dapat ditemukan dalam Muqaddimah Ibnu Khaldun yang menjelaskan bahwasannya khilafah erat kaitannya dengan bagaimana sebuah pemerintahan suatu negara dapat memberikan kemaslahatan di dunia dan di akhirat. Melengkapi definisi tersebut, al-Mawardi mengemukakan hakikat khilafah adalah “khilafah nubuwah” yang berarti mengganti peranan kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia. Kedua definisi tersebut jelas menunjukkan sistem khilafah diberlakukan untuk membawa kemaslahatan umat di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan ini hanya bisa dicapai dengan menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan mengamalkan apa yang diterangkan-Nya. Hal ini merujuk pada penerapan syari’at Islam dalam setiap aspek kehidupan, yang mana tanggung jawab pembinaan syari’at ini hanya bisa dilakukan oleh seorang khalifah yang berkedudukan sebagai pengganti peranan Nabi.

Kedudukan khilafah pada masa ini sejatinya tidak lah sakral, dalam arti suci tanpa cela. Namun, khilafah menuntut adanya keikut sertaan dan pengawasan dari umat untuk mengevaluasi perkataan dan tindakan yang dilakukan khalifah apabila salah. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Khalifah Abu Bakar dalam pidato pembaiatannya. “...aku bukan lah yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik maka tolong bantu lah aku, dan jika aku berbuat buruk tolong luruskan lah aku. Taat lah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan rasul-Nya, dan jika aku durhaka kepada Allah dan rasul-Nya maka tidak ada alasan sama sekali bagi kalian untuk taat kepadaku...”
Politik dalam Islam: Kajian Sistem Politik Masa Khulafa' al-Rasyidun
Mekanisme Peralihan Kekuasaan
Sejatinya, sistem politik yang paling mudah ditemukan terdapat pada mekanisme peralihan kekuasaan para khalifah. Proses peralihan kekuasaan dilakukan dengan ijtihad para sahabat, sebab tidak ada ketentuan yang jelas dari Nabi Muhammad perihal siapa yang akan menggantikannya kelak. Penerapan ijtihad dalam mekanisme peralihan kekuasaan berpengaruh terhadap model dan prosesi pemilihan khalifah. Setidaknya terdapat empat model pemilihan khalifah yang telah dilakukan:
  1. Penyerahan segala pemilihan dan usulan kepada ahlu halli wa al-aqdi. Al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah menyebutkan sistem pemilihan seperti ini terjadi setelah pemimpin sebelumnya wafat, sebagaimana saat pemilihan Khalifah Abu Bakar. Pada waktu itu kaum Muslimin belum memiliki nama calon pemimpin atau pun metode pengangkatannya, sehingga berkumpul tokoh-tokoh kaum Anshar, dan kemudian disusul pula tokoh-tokoh kaum Muhajirin, untuk memusyawarahkannya di sebuah tempat pertemuan bernama Saqifah Bani Sa’idah. Dari sini lah kemudian Abu Bakar terpilih dan dibai’at menjadi khalifah oleh para tokoh tersebut.
  2. Usulan dan pilihan langsung ditetapkan setelah musyawarah (antara khalifah dengan para tokoh kaum Muslimin), dan pengangkatan dilakukan setelah pemimpin sebelumnya wafat. Model ini terjadi pada proses pengangkatan Khalifah Umar bin Khattab yang dilatar belakangi oleh kekhawatiran Abu Bakar  akan terjadinya perselisihan mengenai kepemimpinan setelah wafatnya. Maka, setelah melalui persetujuan para tokoh dan sahabat, diangkat lah Umar bin Khattab disertai pembaiatan kaum Muslimin.
  3. Mengusulkan seorang calon pemimpin yang langsung berkuasa, adapun pemilihan dan pembaiatannya dilakukan setelah pemimpin sebelum wafat. Model ini terjadi pada proses pengangkatan Khalifah Usman bin Affan. Prosesnya terjadi pada masa akhir pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Saat itu, Umar sedang mengalami sakit parah akibat penusukan Abu Lu’lu’ah. Maka beliau memutuskan untuk menunjuk beberapa orang sahabat pilihan (sebagai ahlu halli wa al-aqdi) untuk melakukan pemilihan di antara mereka untuk menjadi khalifah. Dari sini lah kemudian Usman bin Affan dibaiat menjadi khalifah.
  4. Pencalonan dilakukan oleh khalifah yang masih berkuasa, dan pemilihannya dilakukan setelah umat Islam menyampaikan pendapat mereka (setelah khalifah wafat). Adanya model ini juga dapat dilihat pada saat proses pengangkatan Usman, yaitu ketika Abdurrahman bin Auf memilih mundur dari dewan keanggotaan dewan formatur/ahlu halli wa al-aqdi dan beliau kemudian berkeliling untuk meminta pendapat para tokoh masyarakat, serta kaum Muslimin secara umum. Proses ini juga dilengkapi dengan pembaitan secara resmi. 
Politik dalam Islam: Kajian Sistem Politik Masa Khulafa' al-Rasyidun
Pembagian Wilayah Administrasi
Tujuan utama dilakukannya perluasan wilayah adalah untuk menyebarluaskan dakwah serta perhatian pada urusan kehidupan seluruh umat manusia. Untuk menopang aktivitas tersebut dilakukan pembagian wilayah administrasi berupa pendirian provinsi-provinsi di wilayah yang telah ditaklukan. Pembagian wilayah administrasi dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi. Pada masa Khalifah Abu Bakar, setelah beberapa wilayah mulai ditaklukan, negara dibagi menjadi tujuh, yakni Hijaz, Oman, Yaman, Bahrain, Irak, dan Syam, dengan Madinah sebagai ibu kotanya. Kemudian pada Khalifah Umar bin Khattab, terjadi penaklukan wilayah yang jauh lebih luas, meliputi penyempurnaan penaklukan wilayah Persia, Syam (Siria hingga Palestina), dan Mesir. Adapun pada masa Khalifah Usman bin Affan, karena kemampuan pengelolaan umat Islam semakin meningkat, selain terjadi pula beberapa penaklukan baru (seperti penaklukan wilayah Armenia), terjadi pula beberapa perombakan adminsitrasi wilayah, di antara contohnya adalah dimasukkannya Oman dan Bahrain dalam teritori Bashrah. Pengembangan ini kemudian terhenti pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib karena disebabkan banyaknya konflik (fitnah) yang terjadi. 

Meluasnya wilayah daulah Islam pada masa Khalifah Umar bin Khattab juga membawa pengembangan berupa pendirian kota-kota yang menjadi penopang pemerintahan di setiap wilayah administrasi, seperti Kufah dan Bashrah untuk wilayah Irak, Damaskus dan Homs untuk wilayah Syam, Shun’a untuk wilayah Yaman, dan Fustat untuk wilayah Mesi. Kota-kota ini sebagian merupakan kota yang baru didirikan, dan ada pula yang merupakan penginggalan dari masyarakat yang ditaklukkan. Adanya kota-kota ini, menjadi penting karena memiliki posisi sebagai ibukota (pusat pemerintahan) setiap daerah, serta tempat tinggal bagi tentara reguler. Di setiap kota ini lah diangkat para Amir (gubernur), yang mana mereka memiliki tanggung jawab untuk menjadi wakil dari khalifah dalam mengurus berbagai persoalan urusan umat/masyarakat di daerah-daerah.

Adanya perkembangan sistem administrasi pemerintahan mendorong pendirian sebuah instansi pencatatan. Instansi ini merekrut aparatur khusus yang terdiri dari para penulis dan koresponden yang bertugas menulis surat-surat resmi, seperti surat perintah, surat perjanjian, surat antara khalifah (pusat) dan amir (daerah), sura tantara khalifah dan komandan militer, dan sebagainya. Dibangunnya instansi ini menunjukkan kemampuan umat Islam dalam menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi pada masa Khulafa' al-Rasyidun. 
Politik dalam Islam: Kajian Sistem Politik Masa Khulafa' al-Rasyidun
Pembentukan Lembaga Pengelola Kekayaan Negara
Pada mulanya semua urusan pemerintahan daerah, baik dalam hal politik, ekonomi, maupun hukum dipegang oleh seorang amir (gubernur). Kemudian, seiring berkembangnya luas wilayah taklukan, terjadi peningkatan pemasukan yang cukup besar bagi negara. Pemasukan yang besar umumnya berasal dari ghanimah (harta rampasan perang) yang diperoleh pasca penaklukan-penaklukan berbagai wilayah, serta dari berbagai pemasukan lain seperti jizyah, pajak tanah, dan pajak perdagangan. Selain itu, terdapat pula sumber pemasukan lama yang telah berlaku sejak masa Rasulullah SAW, seperti zakat, infaq, shadaqah, dan sebagainya. Hal ini mendorong pemisahan antara tugas imamah (kepemimpinan) dan pengelolaan ekonomi (meski tetap saling terintegrasi). Oleh karena itu, dibentuklah lembaga/instansi yang secara khusus mengurus kekayaan negara, yang diberi nama baitul maal.

Baitul maal, pertama kali dibangun secara formal pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Baitul maal, dalam hal ini berfungsi sebagai kantor kas negara. Lembaga ini didirikan baik di Madinah (sebagai pusatnya) maupun di beberapa kota besar lainnya (sebagai cabang). Orang-orang yang bekerja di dalam lembaga ini, bertugas melakukan pengumpulan, pencatatan, serta pengelolaan harta masyarakat yang dapat dihimpun. Harta kekayaan yang telah masuk (di daerah-daerah) tersebut, terlebih dahulu dipotong untuk keperluan masing wilayah, seperti pembangunan dan pembiayaan aktivitas ekspansi. Sisanya baru dikirimkan ke Ibukota Madinah. Dengan demikian, terbangun sistem keuangan yang mampu mengontrol antara pemasukan dan pengeluaran umum.
Politik dalam Islam: Kajian Sistem Politik Masa Khulafa' al-Rasyidun
Pembentukan Lembaga Hukum Negara
Upaya pembentukan lembaga hukum pertama kali dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar yang ditandai dengan diangkatnya Umar bin Khattab sebagai hakim. Dalam perkembangannya, yakni pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, mulai diangkat para hakim di setiap wilayah untuk menyelesaikan berbagai persengketaan yang terjadi di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa pada masa Khalifah Umar bin Khattab telah dipisah antara otoritas penguasa (Lembaga Eksekutif) dengan otoritas peradilan (Lembaga Yudikatif). Pada masa ini pengangkatan para pejabat hakim dilakukan oleh para khalifah sendiri, diambil dari kalangan orang-orang faqih yang shalih (memiliki integritas). Mereka (para hakim) kemudian diberi tempat sendiri (kantor instansi pengadilan), dengan beberapa pegawai yang membantunya, seperti di antaranya al-Jalwaz atau polisi.

Perkembangan yang cukup pesat dari beberapa lembaga di atas mendorong diperlukannya sejumlah kebijakan-kebijakan khusus untuk menopang dan menyempurnakan urusan pemerintahan yang ada. Berikut beberapa kebijakan yang dikeluarkan pada masa Khulafa' al-Rasyidun:
  1. Pengangkatan Petugas Pengawas Pasar. Petugas memiliki tanggung jawab untuk menjaga etika-etika umum serta pengawasan terhadap perilaku kecurangan yang muncul di pasar. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab terkenal seorang perempuan yang diamanahi tugas ini bernama Al-Syifa’ Binti Abdullah.
  2. Pengangkatan Petugas kepolisian. Petugas kepolisian memiliki tanggung jawab untuk membantu khalifah dalam menjamin stabilitas dan penegakan hukum secara umum di masyarakat.
  3. Pengangkatan al-Hijabah. Petugas hijabah memiliki fungsi sebagaimana halnya asisten atau sekretaris pribadi khalifah. Mereka memiliki tanggung jawab untuk menjadi penghubung yang mengatur jadwal pihak-pihak yang ingin menemui khalifah.
  4. Pengawas para pejabat pemerintahan. Ini dilakukan langsung oleh para khalifah. Mereka mengawasi setiap pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukan oleh semua para pejabat pemerintahan.
  5. Pembentukan Sistem Penjara. Pembentukan sistem ini didorong oleh semakin kompleksnya persoalan masyarakat. Sistem ini mulai dibuat pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.
  6. Petugas Pengawas Pelabuhan (Syah Bandar). Pada masa Khalifah Usman bin Affan, umat Islam telah membangun angkatan laut. Oleh karena itu, diperlukan pula petugas khusus yang mengelola pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah daulah Islam.
Adanya berbagai pengembangan ini, menunjukkan bahwa di dalam pengelolaannya, para khalifah tidak hanya melanjutkan sistem atau cara-cara yang telah ada di masa Rasulullah SAW, atau bahkan masa sebelumnya. Akan tetapi juga banyak melakukan adopsi dari sistem organisasi pemerintahan yang telah dikembagkan peradaban lain, seperti utamanya Romawi dan Persia. Sebagaimana dalam pembangunan lembaga keamiran (pemerintah daerah), lembaga baitul maal (keuangan), serta Lembaga kehakiman. Adopsi bahkan juga dilakukan dalam hal penentuan petugas atau pegawai pemerintahan, seperti misalnya petugas pemungutan pajak. Mereka diambil dari penduduk setempat karena dianggap lebih mampu dibandingkan kaum muslimin yang saat itu belum berpengalaman dalam mengelolanya. Pada masa khulafaurrasyidin, administrasi di berbagai wilayah di luar Arab juga menggunakan bahasa daerah masing-masing. Ini semua menunjukkan keluasan ajaran Islam serta kepahaman para khalifah dalam mengelola urusan teknis atau aspek kehidupan dunia.

Mahasiswa Magister Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Post a Comment for "Politik dalam Islam: Kajian Sistem Politik Masa Khulafa' al-Rasyidun"