Perkembangan Demokrasi di Indonesia

Perkembangan Demokrasi di Indonesia

Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Selama 75 tahun berdirinya Republik Indonesia ternyata masalah pokok yang kita hadapi ialah bagaimana dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi di samping membina suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis. Pada pokoknya masalah ini berkisar pada penyusunan suatu sistem politik, di mana kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation building dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya diktator. Apakah diktator ini bersifat perorangan, partai, ataupun militer.

Jika dipandang dari sudut perkembangannya, sejarah demokrasi di Indonesia dapat dibagi dalam empat masa.

Masa Republik Indonesia I (1945-1959): Masa Demokrasi Konstitusional 
Sistem parlementer yang mulai berlaku sebukan sesudah kemerdekaan diproklamirkan, ternyata kurang cocok untuk Indonesia. Persatuan yang dapat digalang bersama untuk selalu menghadapi musuh bersama menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan tercapai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat. 

Undang-Undang Dasar Sementara 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer, dimana badan eksekutif yang terdiri atas presiden sebagai kepala negara konstitusional (constitutional) dan menteri-menterinya mempunyai tanggungjawab politik. Karena fragmentasi partai-partai politik, setiap kabinet berdasarkan koalisi yang berkisar pada satu atau dua partai besar dengan beberapa partai kecil. 

Masa Republik Indonesia II (1959-1965): Masa Demokrasi Terpimpin 
Ciri-ciri periode ini ialah dominasi dari presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial-politik. Dekrit Presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Undang-Undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi Ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar. 

Selain itu terjadi penyelewengan dibidang perundang-undangan di mana berbagai tindakan pemerintahan dilaksanakan melalui Penetapan Presiden (Penpres) yang memakai dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum. Tambahan pula didirikan badan-badan ektsra konstitusional seperti Front Nasional yang ternyata dipakai oleh pihak komunis sebagai arena kegiatan. Sesuai taktik Komunisme Internasional yang menggariskan pembentukan front nasional sebagai persiapan ke arah terbentuknya demokrasi rakyat. Partai politik dan pers yang dianggap menyimpang dari rel revolusi ditutup, tidak dibenarkan, dan dibredel. Sedangkan politik mercusuar di bidang hubungan luar negeri dan ekonomi dalam negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi menjadi bertambah suram. G 30/S PKI telah mengakhiri periode ini dan membuka peluang untuk dimulainya masa demokrasi Pancasila. 

Masa Republik III (1965-1998): Masa Demokrasi Pancasila 
Perkembangan lebih lanjut pada masa Republik Indonesia III (yang juga disebut sebagai Orde Baru yang menggantikan Orde Lama) menunjukkan peranan presiden yang semakin besar. Secara lambat laun tercipta pemusatan kekuasaan ditangan presiden, karena Presiden Soeharto telah menjelma sebagai seorang tokoh yang paling dominan dalam sistem politik di Indonesia, tidak saja karena jabatannya sebagai presiden dalam sistem presidensial, tetapi juga karena pengaruhnya yang dominan dalam elit politik Indonesia. Keberhasilan memimpin penumpasan G 30/S PKI dan kemudian membubarkan PKI dengan menggunakan Surat Perintah 11 Maret (Super Semar) memberikan peluang yang besar kepada Jendral Soeharto untuk menjadi presiden berikutnya sebagai pengganti Presiden Soekarno. 

Masa Republik Indonesia III menunjukkan keberhasilan dalam penyelenggaraan pemilu. Pemilu diadakan secara teratur dan berkesinambungan sehingga selama periode tersebut berhasil diadakan 6 kali pemilu, masing-masing pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dari awal, Orde Baru memang menginginkan adanya pemilu. Ini terlihat dari dikeluarkannya Undang-Undang (UU) Pemilu pada tahun 1969, hanya setahun setelah Presiden Soeharto dilantik sebagai presiden oleh MPRS pada tahun 1968 atau dua tahun setelah ia dilantik sebagai Pejabat Presiden pada tahun 1967. Hal ini sesuai dengan slogan Orde Baru pada masa awalnya. Melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. 

Namun ternyata nilai-nilai demokrasi tidak diberlakukan dalam pemilu-pemilu tersebut karena tidak ada kebebasan memilih bagi para pemilih dan tidak ada kesempatan yang sama bagi ketiga organisasi peserta pemilu (OPP) untuk memenangkan pemilu. Sebelum fusi partai politik tahun 1973, semua OPP kecuali Golkar, menghadapi berbagai kendala dalam menarik dukungan dari para pemilih, antara lain karena adanya asas monoloyalitas. Setelah fusi 1973 yang menghasilkan dua partai politik di samping Golkar, tidak ada perubahan dalam pemilu karena Golkar tetap dapat dipastikan memenangkan setiap pemilu. Hal ini disebabkan karena Golkar mendapatkan dukungan dan fasilitas dari pemerintah sedangkan dua partai lainnya yaitu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menghadapi banyak kendala dalam memperoleh dukungan dari pemilih. Terlepas dari semua itu, pelaksanaan pemilu sebanyak 6 kali tersebut telah memberikan pendidikan politik yang penting bagi rakyat Indonesai sehingga rakyat telah terbiasa memberikan suara dan menentukan pilihan dalam pemilu. 

Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang): Masa Reformasi 
Tumbangnya Orde Baru membuka peluang terjadinya reformasi politik dan demokratisasi di Indonesia. Pengalaman Orde Baru mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa pelanggaran terhadap demokrasi membawa kehancuran bagi negara dan penderitaan rakyat. Oleh karena itu, bangsa Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni proses pendemokrasian sistem politik Indonesia sehingga kebebasan rakyat terbentuk, kedaulatan rakyat dapat ditegakkan, dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat (DPR). 

Presiden Habibie yang dilantik sebagai presiden untuk menggantikan Presiden Soeharto dapat dianggap sebagai presiden yang akan memulai langkah-langkah demokrastisasi dalam Orde Reformasi. Oleh karena itu, langkah yang dilakukan pemerintahan Habibie adalah mempersiapkan pemilu dan melakukan beberapa langkah penting dalam demokratisasi. UU politik yang meliputi UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD yang baru disahkan pada awal 1999. UU politik ini jauh lebih demokratis dibandingkan dengan UU politik sebelumnya sehingga pemilu 1999 menjadi pemilu yang demokratis yang diakui oleh dunia Internasional. Pada masa pemerintahan Habibie juga terjadi demokratisasi yang tidak kalah pentingnya, yaitu penghapusan dwifungsi ABRI sehingga fungsi sosial-politik ABRI dihilangkan. Fungsi pertahanan menjadi satu-satunya yang dimiliki ABRI yang saat ini telah berubah menjadi TNI, semenjak reformasi internal dalam TNI. 

Alumnus STPMD "APMD" Yogyakarta

Post a Comment for "Perkembangan Demokrasi di Indonesia"